sepanjang braga

Aku tidak tahu apakah harus menyesal atau tidak. Tapi nyatanya, dibutuhkan waktu sepuluh tahun dan seratus buah lukisan untuk akhirnya membuat aku sadar.
"Anda suka?" Pengunjung di sebelahku mengawasiku.
"Aku? Ah... ya!" Suaraku baur, ada keraguan dan keterkejutan. Kupikir, terlalu lama aku terpaku.
"Lukisan ini memang bagus!" Nadanya menyerupai gumaman.
Aku mengangguk tercekat. Lantas kurasakan langit dalam lukisan membagi tempias hujan, mengiris dingin. Gigil menyergap.
"Pakailah jaket!" Kudengar suaramu dari masa lalu.
"Aku nggak dingin kok!" Tapi kukenakan juga jaket biru milikmu. Kamu membantu memasangkan topi.
Dan kemudian, di bawah gerimis yang menusuk, kita susuri Jalan Braga.
Ya, seperti juga mungkin harapanmu, bagiku, peristiwa itu perjalanan mimpi. Ratusan almanak berguguran, dan sepanjang musim aku hanya bisa menyebut namamu dengan sejumlah ragu.
"Kamu mengenalnya?" Dhani, sahabatku di SMA sempat menatapku tak percaya ketika aku sedikit bisa bercerita tentangmu. Sebagai pengagum berat karya-karyamu, ini 'kejutan besar' bagi dia.
Dan aku mengangguk, ragu. Bukankah kamu selalu menyebutku 'Adik Manis'?
"Ia... ia kakak yang baik!"
Sangat baik, kupikir. Aku tidak bisa melupakan saat Pak Pos tiba pagi-pagi di depan pintu. Ia mengantarkan bingkisan besar. Sebuah lukisan berjudul 'Prosa Perjalanan'. Di sudutnya, ada kartu kecil bertuliskan:
"Selamat ulangtahun, Adik Manis/Panjang usia, bahagia, pintar, dan bijaksana/Kado ini hanya bayang-bayang/Bandung, Juli 1988." Lantas, ada tanda tanganmu, ada stempel KKN-Unpad 1988 di baliknya.
Aku bahagia benar menerimanya. Antara percaya dan ragu, inilah kenyataan itu. Kamu, pelukis muda yang diperhitungkan di negeri ini, melukis khusus di tengah kesibukan KKN, hanya untuk menandai ulangtahunku. Ini kado istimewa menurutku, tapi anggapan itu kukubur rapat-rapat di batin.
"Ia kakak yang baik," berulang-ulang aku harus meyakinkan Dhani.
Berkali-kali, ia tampak demikian ingin mendengar aku bercerita banyak tentangmu. Ia cemburu. Aku — sahabatnya, yang tidak lebih baik dan cantik dibanding dia, mendapatkan kado khusus dari seorang pelukis ternama. Aku pikir, aku bukan pengidap megalomania. Maka selalu saja kuendapkan sensasi dalam-dalam. Aku berjanji untuk tidak membagi pengalaman batinku pada Dhani, juga pada siapa pun.
Aku punya alasan untuk tidak sekadar memancing cemburu Dhani. Di SMA kami, mendapatkan tanda tangan seorang artis penyanyi saja, bangganya bukan main. Aku hanya malu membayangkannya. Malu pada diri sendiri. Bayangkan, aku tidak mengenal kamu, selain melalui; foto dan berlembar-lembar surat. Waktu itu, seperti juga Dhani, aku mengagumi beberapa lukisanmu yang kutemui pada sebuah pameran di Jakarta. Lantas, sepulang ke Makassar setelah liburan sekolah itu, kukirim surat ke alamatmu. Disertai lukisan sederhana. Aku merasa sedikit bisa melukis — dan kini menyatakan niat besar untuk belajar banyak padamu.
Tak dinyana, engkau membalas dengan surat panjang. Benar-benar panjang, ada mungkin semeter. Meskipun lebar kertasnya tak lebih dari sepuluh senti. Aku pegal membacanya, tapi juga merasakan sensasi luar biasa. Kamu memuja-muja lukisanku — menyebutnya mirip goresan Vassily Kandinsky.
"Kamu sungguh berbakat, Adik Manis!" tulismu.
Dan, dadaku serasa pecah.

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

Páginas

Popular posts

Buscar

Entradas populares